Subscribe

RSS Feed (xml)



Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 01 Maret 2009

PENDEKATAN SAINS-TEKNOLOGI-MASYARAKAT DALAM PEMBELAJARAN SAINS DI SEKOLAH

Oleh: La Maronta Galib *)
Abstrak: Salah satu unsur reformasi dalam pendidikan sains di sekolah adalah penerapan Program/Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (STM). Asumsinya, sains dan teknologi berkaitan sangat erat dan hasil-hasilnya telah memasuki seluruh aspek kehidupan manusia. Sains dan teknologi juga harus menjadi bagian integral dari sistem pendidikan agar siswa menjadi warga negara dan warga masyarakat yang melek dan sadar sains dan teknologi sejak dini. Program/Pendekatan STM adalah belajar-mengajarkan sains dan teknologi dalam konteks pengalaman dan kehidupan manusia sehari-hari, dengan fokus isu-isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat, baik bersifat lokal, regional, nasional, maupun global yang memiliki komponen sains dan teknologi. Pendekatan ini sangat cocok untuk pembelajaran sains yang menekankan pada multi-dimensi hasil belajar siswa (seperti penguasaan konsep, proses sains, kreativitas, sikap, penerapan, nilai-nilai, dan keterkaitan).
Kata Kunci: Sains-Teknologi-Masyarakat (STM), Program/Pendekatan STM, Pendidikan/Pembelajaran Sains, multi dimensi hasil belajar siswa, pengalaman dan keidupan manusia sehari-hari.
*) Dr. La Maronta Galib, M.Pd. Dosen Pendidikan Fisika pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendari

1. Pendahuluan

Perkembangan sains dan teknologi yang demikian pesat, juga kemajuan dalam bidang psikologi pendidikan atau teori-teori pembelajaran, dan hasil-hasil penelitian dalam bidang pendidikan sains telah mendorong upaya penerapan berbagai program/pendekatan dalam pembelajaran sains (meliputi fisika, kimia, biologi, dan bumi antariksa) di sekolah. Salah satu di antaranya adalah Program/ Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (STM) atau Science-Technology-Society (STS).
Program/Pendekatan STM merupakan suatu gerakan reformasi dalam pembelajaran sains di sekolah, sebagai upaya membuat warga negara melek sains dan teknologi (scientific and technological literacy) yang telah dimulai sejak dua dekade yang lalu di negara-negara yang telah maju.
Di Amerika Serikat misalnya, Program STM muncul sebagai upaya nyata reformasi dalam pengajaran sains di sekolah (Yager, 1993b-c; 1992b; 1991). Hal itu juga dinyatakan dalam Proyek 2061: Science For All Americans seperti direkomendasikan oleh American Association for the Advancement of Science (AAAS, 1988) serta dewan Scope, Sequence, and Coordination Project (SS&C, 1989), dan National Science Teachers Association (NSTA) (NSTA, 1990; 1984).
Di Canada dan beberapa negara Eropa (seperti, Inggris, Belanda, dan Jerman) Program STM telah dimulai sekitar tahun 1970-an (Solomon, 1993). Di Inggris, misalnya, dikenal Program SISCON (Science In a Social CONtext, 1971) yang di set up oleh Bill Williams dari Universitas Leeds dan disponsori oleh Nuffiel Foundation, dan Program Science and Technology in Society (SATIS) juga di Inggris didukung oleh Association for Science Education (ASE) (ASE, 1986; Lo, 1991; Maton, 1993). Di negara-negara Asia (seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Philipina, dan India), Program/Pendekatan STM sudah menjadi bagian integral dari program/sistem pendidikan sains di sekolah (Gill, 1991).
Namun, di Indonesia, Program/Pendekatan STM belum dikenal secara meluas oleh guru-guru sains di sekolah dan juga belum menjadi suatu program nyata yang secara nasional melembaga, padahal upaya untuk membuat warga negara melek sains dan teknologi sejak SD semakin mendesak karena hasil-hasil sains dan teknologi serta dampak-dampak penyertanya sudah menjadi bagian integral dari kehidupan kita sehari-hari. Indonesia juga telah ikut dalam kesepakatan tnternasional pada pertemuan di Paris tahun 1993 tentang perlunya negara-negara peserta melakukan inisiatif atau upaya-upaya/program-program yang dapat membuat semua warga negara melek sains dan teknologi (scientific and technological literacy for all).
Dalam kurikulum mata pelajaran sains di sekolah pun, Pendekatan STM belum diakomodir sebagai salah satu pendekatan yang amat relevan untuk pembelajaran sains di sekolah dalam konteks pemecahan isu/masalah-masalah lokal, regional, masional, maupun internasional. Sementara dalam PP No. 28 tahun 1990 tentang pendidikan dasar di Indonesia, telah dinyatakan bahwa isi kurikulum pendidikan dasar wajib memuat bahan kajian dan pelajaran pengantar sains dan teknologi (pasal 14 ayat 2 butir g). Hal itu berarti sains dan teknologi dapat menjadi bahan kajian dan pelajaran wajib pada tingkat pendidikan dasar dan perlu ditunjang oleh wawasan mengenai Pendekatan STM.
Oleh karena itu, pada tulisan ini diuraikan mengenai Pendekatan STM: Apa itu Pendekatan STM? Mengapa diperlukan dalam pembelajaran sains? Apa visi, tujuan, dan karakteristiknya? Apa domainnya dalam pembelajaran dan evaluasi hasil belajar sains siswa? Dengan demikian, tujuan penulisan ini adalah menjelaskan atau mengkaji dan ikut mensosialisasikan makna Pendekatan STM, alasan penerapan Program/Pendekatan STM dalam pembelajaran sains di sekolah, visi, tujuan dan karakteristik Program/Pendekatan STM, dan domain pembelajaran dan evaluasi hasil belajar sains siswa dalam Program/Pendekatan STM. Harapannya adalah agar substansi Pendekatan STM dapat lebih dikenal/dipahami secara luas khususnya para pakar pendidikan dan guru-guru sains, dan lebih dari itu semoga dapat diakomodir dalam kurikulum bidang studi sains sebagai salah satu program/pendekatan dalam pembelajaran sains di sekolah.

2. Kajian Pustaka

2.1. Sejarah, Pengertian, dan Sasaran Pendekatan STM
Menurut Hidayat (1996b:5) dan Yager (1993c:145), istilah STM dibuat oleh John Ziman dalam bukunya berjudul Teaching and Learning About Science and Society (1980). Ziman mencoba mengungkapkan suatu harapan bahwa konsep-konsep dan proses sains yang diajarkan di sekolah harus sesuai konteks sosial dan relevan dengan kehidupan siswa sehari-hari.
Sementara Yager & Roy (1993:8) menyatakan sejarah singkat Pendekatan STM sebagai berikut. Mulai tahun 1970, beberapa universitas di US seperti Cornell, Penn State, Stanford, dan SUNY-Stony Brook secara resmi memulai program yang menawarkan pelajaran pada bidang studi yang sekarang disebut STM. Hal yang sama juga dilakukan oleh konsorsium universitas di Inggris. Kemudian, secara berangsur beberapa negara dan lembaga lain melakukan kerjasama, menjadi penelitian utama universitas, dan sekitar 100 lembaga menjadikan STM sebagai bidang akademik.
Sebagai suatu momentum perkembangan STM, pada tahun 1977 muncul sebuah proyek yang disebut Norris Harms’ Project Synthesis (Harm, 1977) dengan tujuan utama, yaitu: (1) mempersiapkan siswa untuk menggunakan sains bagi pengembangan hidup dan mengikuti perkembangan dunia teknologi, (2) mengajar para siswa untuk mengambil tanggung jawab dengan isu-isu teknologi/masyarakat, (3) mengidentifikasi tubuh pengetahuan fundamental sehingga siswa secara tuntas memperoleh kepandaian dengan isu-isu STM, dan (4) memberikan suatu gambaran yang akurat kepada para siswa tentang persyaratan dan kesempatan dalam karier yang tersedia dalam bidang STM (Yager & Roy, 1993:8; Yager, 1993c:146).
Setelah proyek tersebut dilaporkan pada tahun 1981 (Harms & Yager, 1981), National Science Teachers Association (NSTA) berinisiatif melakukan suatu penelitian untuk meningkatkan mutu program pendidikan sains. Dalam hal itu, STM merupakan salah satu bidang penelitian awal pada tahun 1982-83 dan juga tahun 1986. Sejak itu, secara nasional dan merupakan upaya awal dimana STM menjadi fokus bagi sekolah sains untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan baru, kurikulum baru, modul-modul, strategi pembelajaran yang baru, dan bentuk-bentuk baru untuk evaluasi hasil belajar siswa.
Hasil-hasil yang telah dicapai dalam penelitian di atas telah digunakan dalam pembaruan pendidikan sains di Iowa sejak dimulainya suatu Program Chautauqua NSTA-NSF pada tahun 1983. Dan sekarang, sudah lebih dari 1.700/1.800 guru, khususnya pada kelas 4-9 yang telah mengembangkan dan memperkenalkan modul-modul STM dalam ruang kelas sains mereka. Inisiatif untuk itu juga telah dilakukan di negara bagian yang lain, seperti Arizona, Florida, New York, dan Wisconsin.
Pada tahun 1984, Dewan Pengurus NSTA merekomendasikan bahwa semua siswa SLTA di AS menerima pelajaran STM dengan variasi dari 15% pada kelas-kelas rendah sampai 25% pada kelas tinggi. Dalam tahun 1990 di Amerika Serikat, STM telah diperkenalkan pada 2000 fakultas dan 1000 SLTA dalam bentuk pelajaran.
Dengan demikian, STM sebagai mata pelajaran dalam bidang studi dan menjadi fokus penelitian di perguruan tinggi sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 70-an khsusunya di Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Di AS, sejak tahun 80-an secara nasional STM menjadi fokus dan ruang lingkup dalam upaya reformasi pendidikan sains di sekolah (tujuan, kurikulum, modul, program/pendekatan/strategi pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar siswa).
Menurut NSTA (Yager, 1996a-c; 1993b:1; 1992a:2), Pendekatan STM adalah belajar dan mengajarkan sains dan teknologi dalam konteks pengalaman manusia. Pendekatan STM cocok untuk mengintegrasikan domain konsep, keterampilan proses, kreativitas, sikap, nilai-nilai, penerapan, dan keterkaitan antar bidang studi (kurikulum) dalam pembelajaran dan penilaian pendidikan sains (Soprovich, 1993; Heath, 1992; Yager, 1996b; 1992a). Jadi, Program/Pendekatan STM menekankan pada konteks pembelajaran dan beraneka ragam hasil belajar.
Salah satu ciri utama Pendekatan STM adalah mempelajari isi kurikulum dengan bertitik tolak dari isu-isu/masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa atau masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang mengandung komponen sains dan teknologi. Dengan kata lain, dalam pembelajaran sains dengan Pendekatan STM, siswa berpartisipasi langsung dan proaktif dalam upaya pemecahan isu-isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari (Yager, 1996a-b; 1993b-c; 1992a-c; Zoller & Ben-Chaim, 1994; Cross, 1993; NSTA dalam Pedersen, 1992; Heath, 1992; Gregorio, 1991).
Pendekatan STM sebagai gerakan reformasi dalam pendidikan sains, diarahkan untuk literasi ilmiah (sains) dan teknologi untuk semua (scientific and technological literacy for all) sebagai megaproyek yang mendunia tahun 2000+ (UNESCO, 1993; ICASE, 1993, 1994a, 1994b). Melek sains dan teknologi merupakan salah satu syarat bagi seseorang untuk dapat hidup dan bekerja, serta mampu membuat keputusan-keputusan yang tepat dan dapat melakukan tindakan-tindakan pribadi dan sosial yang bertanggung jawab (Hidayat, 1997:10; 1996:14). Karena itu, pendidikan sains di sekolah juga memiliki tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai dan kesadaran akan tanggung jawab pribadi dan sosial pada peserta didik sebagai warga negara dan warga masyarakat.

2.2. Paradigma Pendekatan STM

Pada istilah STM terkandung tiga kata kunci, yaitu sains, teknologi, dan masyarakat. Karena itu, paradigma Pendekatan STM dalam pembelajaran sains pada hakikatnya dapat ditinjau dari asumsi dasar pengertian sains, teknologi, dan masyarakat, interaksi antar ketiganya serta keterkaitannya dengan tujuan-tujuan pendidikan sains. Hal ini akan menjawab suatu pertanyaan mendasar: mengapa diperlukan Pendekatan STM dalam pembelajaran sains di sekolah?
Menurut Hungerford, Volk & Ramsey (1990:13-14) sains adalah (1) proses memperoleh informasi melalui metode empiris (empirical method); (2) informasi yang diperoleh melalui penyelidikan yang telah ditata secara logis dan sistematis; dan (3) suatu kombinasi proses berpikir kritis yang menghasilkan informasi yang dapat dipercaya dan valid.
Berdasarkan tiga definisi tersebut, Hungerford, Volk & Ramsey (1990) menyatakan bahwa sains mengandung dua elemen utama, yaitu: proses dan produk yang saling mengisi dalam derap kemajuan dan perkembangan sains. Sains sebagai suatu proses merupakan rangkaian kegiatan ilmiah atau hasil-hasil observasi terhadap fenomena alam untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) yang lazim disebut produk sains. Produk-produk sains meliputi fakta, konsep, prinsip, generalisasi, teori dan hukum-hukum, serta model yang dapat dinyatakan dalam beberapa cara (NRC, 1996:23).
Sementara itu, menurut Trowbridge & Bybee (1990:48) sains merupakan representasi dari suatu hubungan dinamis yang mencakup tiga faktor utama, yaitu: "the extant body of scientific knowledge, the values of science, and the methods and processes of science". Pandangan ini lebih luas jika dibandingkan dengan pengertian sains yang dikemukakan Hungerford, Volk & Ramsey (1990) karena Trowbridge & Bybee (1990) selain memandang sains sebagai suatu proses dan metode (methods and processes) serta produk-produk (body of scientific knowledge), juga melihat bahwa sains mengandung nilai-nilai (values). Sains adalah sekumpulan nilai-nilai dan prinsip yang dapat menjadi petunjuk pengembangan kurikulum dalam sains (Gill, 1991:56).
Sebagai body of scientific knowledge, sains adalah hasil interpretasi/deskripsi tentang dunia kealaman (natural world). Hal ini sesungguhnya sama dengan elemen produk pada definisi sains yang dikemukakan oleh Hungerford, Volk & Ramsey (1990). Tujuan pokok sains adalah pengembangan body of scientific knowledge (Hyllegard, Mood & Morrow, 1996:13).
Sains sebagai proses/metode penyelidikan (inquiry methods) meliputi cara berpikir, sikap, dan langkah-langkah kegiatan saintis untuk memperoleh produk-produk sains atau ilmu pengetahuan ilmiah, misalnya observasi, pengukuran, merumuskan dan menguji hipotesis, mengumpulkan data, bereksperimen, dan prediksi. Dalam konteks itu sains bukan sekadar cara bekerja, melihat, dan cara berpikir, melainkan ‘science as a way of knowing’. Artinya, sains sebagai proses juga dapat meliputi kecenderungan sikap/tindakan, keingintahuan, kebiasaan berpikir, dan seperangkat prosedur. Sementara nilai-nilai sains berhubungan dengan tanggung jawab moral, nilai-nilai sosial, manfaat sains untuk sains dan kehidupan nanusia, serta sikap dan tindakan (misalnya, keingintahuan, kejujuran, ketelitian, ketekunan, hati-hati, toleran, hemat, dan pengambilan keputusan).
Kata kedua dari istilah STM adalah teknologi. Menurut Fischer (1975) teknologi adalah keseluruhan upaya yang dilakukan oleh masyarakat (manusia) untuk mengadakan benda-benda agar memperoleh kenyamanan dan makanan bagi manusia itu sendiri. Sedangkan Aikenhead (1991:10) menyatakan, teknologi merupakan studi tentang man-made-world, artinya berhubungan dengan kreasi atau perekayasaan alam dan solusi dari dan untuk manusia dalam mengahadapi masalah-masalah dan tantangan dari lingkungan/alam. Sementara itu, Hunt & Solomon (1992) menyatakan bahwa teknolgi merupakan keahlian (craft), mesin-mesin besar (big machines) atau teknologi tinggi (misalnya, komputer dan robot), dan proses keterampilan (skilled procces).
Teknologi sebagai suatu keahlian, artinya melibatkan keterampilan fisik (tangan) dan memerlukan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan perancangan, pengembangan, dan membuahkan hasil yang bermanfaat untuk pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Sementara teknologi dapat juga dipandang sebagai suatu proses keterampilan atau knowing-how, artinya memerlukan pemikiran kreatif, keterampilan khusus, dan memiliki nilai-nilai dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Pengertian-pengertian teknologi yang dikemukakan di atas, juga didukung oleh pernyataan Solomon (1993:38; 1992:12) bahwa pada dasarnya teknologi merupakan penggunaan pengetahuan dan keterampilan secara kreatif untuk memecahkan masalah-masalah sosial atau pribadi, dan karakteristik utama semua jenis teknologi didesain untuk pelayanan kepada masyarakat.
Kata terakhir dari istilah STM adalah masyarakat (society). Berkaitan dengan Pendekatan STM, Aikenhead (1991:10) memberikan batasan bahwa society is the social milieu. Jadi, masyarakat mengandung pengertian lingkungan pergaulan sehari-hari, teknologi, pranata sosial, aspek-aspek sosial budaya, dan nilai-nilai yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Dengan demikian, secara konseptual, Pendekatan STM dapat dikaitkan dengan asumsi bahwa sains, teknologi, dan masyarakat memiliki keterkaitan timbal balik, saling isi mengisi, saling tergantung, saling mempengaruhi dan mendukung dalam mempertemukan antara permintaan dan kebutuhan manusia serta membuat kehidupan masyarakat lebih baik dan mudah (Sutrasno & Bishry, 1994; Ryan, 1992; Kranzberg, 1991:235; Hungerford, Volk & Ramsey,1990:29-30). Keterkaitan antara sains-teknologi-masyarakat ditunjukkan pada Gambar 1 sebagai berikut.

Gambar 1 Interaksi Sains - Teknologi - Masyarakat
(Hungerford, Volk & Ramsey, 1990:29; Waks, 1992:16)
Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa sains, teknologi, dan masyarakat sangat erat keterkaitannya. Hurd (Jenkin & Whitefield, 1974:32) menyatakan bahwa sains dan teknologi memiliki hubungan simbiosis. Artinya, teknologi (teknolog) menerapkan sains untuk menghasilkan produk-produk teknologi baru, instrumen baru, teknik-teknik baru yang dapat bermanfaat dan menjadi kekuatan baru bagi para saintis dalam melakukan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang lebih maju demi perkembangan sains, kemudian temuan-temuan baru dalam bidang sains dapat menjadi input baru untuk kemajuan teknologi, demikian seterusnya. Menurut Dimyati (1988:178), teknologi dan ilmu pengetahuan (termasuk sains) tidak pernah terpisah. Sejalan dengan pendapat Holbrook (1992:9), bahwa memahami sains hanya sebagai suatu kesatuan konsep-konsep/prinsip-prinsip, berarti memisahkan sains dari teknologi, dan sains hanya dipandang sebagai ilmu murni darpada sebagai mata pelajaran yang dapat diterapkan. Pernyataan Holbrook (1992) mengandung suatu makna bahwa siswa yang telah mempelajari konsep-konsep/ prinsip-prinsip sains perlu selalu didorong untuk menggunakan/menerapkannya dalam kehiduapan mereka sehari-hari, misalnya menjelaskan peristiwa atau fenomena alam, dan menghasilkan teknologi untuk memecahkan masalah yang dijumpai dalam masyarakat.
Sains dan teknologi berperan dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat (Hidayat, 1996:14). Menurut Ryan (Yager, 1992a), pengaruh sains dan teknologi terhadap masyarakat adalah dalam hal tanggung jawab sosial, membentuk opini dan masalah-masalah sosial, pengambilan keputusan dan tindakan sosial, penyelesaian masalah-masalah praktis dan sosial, serta berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi, politik, militer, dan pemikiran-pemikiran dalam bidang sosial budaya. Di sisi lain, masyarakat dapat mempengaruhi sains dan teknologi dalam hal pengendalian dana, kebijakan, aktivitas saintis, industri, perkembangan militer, moral dan etika dalam penelitian dan rekayasa, dan institusi pendidikan.
Dengan demikian, hasil-hasil sains dan teknologi dapat berperan dalam peningkatan kesejahteraan umat manusia (secara individu maupun kelompok) dan pemanfaatannya dapat lebih mempermudah pemecahan masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia. Namun, sains dan teknologi memiliki kelemahan dan keterbatasan, artinya, hasil-hasil dan pemanfaatannya dapat juga menimbulkan masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia. Di satu sisi, perkembangan sains dan teknologi berdampak positif bagi kehidupan manusia (meningkatkan kesejahteraan, memberikan pelayanan, dan mempermudah pekerjaan), dan di sisi lain juga dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia (polusi misalnya). Semuanya itu tergantung kepada manusia yang memanfaatkannya.
Dewasa ini, hasil-hasil sains dan teknologi telah memasuki semua aspek kehidupan dan kegiatan manusia, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, setiap orang harus dibekali dengan sains dan teknologi, dan sains dan teknologi harus ditempatkan dalam konteks sosial budaya masyarakat secara umum, bersama-sama nilai-nilai budaya lokal, kebiasaan/tradisi, serta berfokus pada perhatian dan isu atau masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari (UNESCO, 1993:45; O’Toole, 1993:21).
Menurut Merryfield (1991:289), dalam perspektif dunia global, kurikulum STM merupakan kerangka kerja untuk mengajar dan membiasakan siswa berpikir global dan bertindak secara lokal. Artinya, pembelajaran sains di sekolah tidak dapat dipisahkan dari isu-isu atau masalah teknologi dan masyarakat. Teknologi merupakan bagian integral dari kehidupan, dan karena itu harus menjadi bagian integral dari sistem pendidikan (Maton, 1993:13). Dengan kata lain, upaya-upaya pembelajaran sains dan teknologi tidak dapat dipisahkan dari konteks dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal, regional, nasional, ataupun internasional, sehingga misi utama pendidikan sains untuk ‘membentuk’ siswa sebagai warga negara dan warga masyarakat yang melek sains dan teknologi serta berpikir global dan bertindak lokal dapat terwujud.
Menempatkan pembelajaran sains dalam suatu konteks lingkungan dan kehidupan masyarakat yang dikaitkan dengan teknologi akan membuat sains dan teknologi lebih dekat dan relevan dengan kehidupan nyata semua siswa. Tujuan utama pendidikan sains dengan Pendekatan STM adalah mempersiapkan siswa menjadi wagra negara dan warga masyarakat yang memiliki suatu kemampuan dan kedasaran untuk (1) menyelidiki, menganalisis, memahami dan menerapkan konsep-konsep/prinsip-prinsip dan proses sains dan teknologi pada situasi nyata, (2) melakukan perubahan, (3) membuat keputusan-keputusan yang tepat dan mendasar tentang isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi yang memiliki komponen sains dan teknologi, (4) merencanakan kegiatan-kegiatan baik secara individu maupun kelompok dalam rangka pengambilan tindakan dan pemecahan isu-isu atau masalah-masalah yang sedang dihadapi, dan (5) bertanggung jawab terhadap pengambilan keputusan dan tindakannya (Yager, 1993b:3).
Rumusan di atas, sejalan dengan rumusan fungsi dan tujuan utama mata pelajaran sains di sekolah di Indonesia. Rumusan fungsi utama mata pelajaran sains (IPA) di SD misalnya, yaitu: (1) memberikan pengetahuan tentang berbagai jenis dan perangai lingkungan alam dan lingkungan buatan dalam kaitan dengan pemanfaatannya bagi kehidupan sehari-hari; (2) mengembangkan keterampilan proses; (3) mengembangkan wawasan, sikap dan nilai-nilai yang berguna bagi siswa untuk meningkatkan kualitas kehidupan sehari-hari; (4) mengembangkan kesadaran tentang adanya hubungan keterkaitan yang saling mempengaruhi antara kemampuan sains dan teknologi dengan keadaan lingkungan/alam serta pemanfaatannya bagi kehidupan nyata sehari-hari; dan (5) mengembangkan kemampuan siswa untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), serta keterampilan yang berguna dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi (Depdikbud, 1994:97-98).
Sedangkan tujuan utamanya adalah: (1) memahami konsep-konsep sains dan keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari; (2) memiliki keterampilan proses sains untuk mengembangkan pengetahuan, gagasan tentang alam sekitar; (3) bersikap ingin tahu, tekun, terbuka, kritis, mawas diri, bertanggung jawab, bekerjasama, dan mandiri; (4) mempunyai minat untuk mengenal dan mempelajari benda-benda serta kejadian di lingkungan sekitar; (5) mampu menerapkan berbagai konsep sains untuk menjelaskan gejala-gejala alam dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari; (6) mampu menggunakan teknologi sederhana yang berguna untuk memecahkan masalah-masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari; dan (7) mengenal dan memupuk rasa cinta terhadap alam sekitar, sehingga menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa (Depdikbud, 1994:98-99).
Fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan tersebut juga sejalan dengan gagasan Yager (1996:9) tentang ruang lingkup hasil belajar sains yang mencakup kognisi atau konsep, keterampilan proses, sikap, kreativitas, dan aplikasi.
Mengenai hubungan antara sains dan teknologi serta keterkaitannya dengan tujuan-tujuan pendidikan, Trowbridge & Bybee (1990) dan Yager (1992b) menyatakannya dalam suatu paradigma seperti terlihat pada Gambar 2. Nampak bahwa sains dan teknologi memiliki titik mulai yang berbeda. Kegiatan sains (saintis) diawali dengan bertanya kepada alam atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang dunia kealaman (natural world), sedangkan kegiatan teknologi (teknolog) diawali dari masalah-masalah yang sedang dihadapi manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan/alam.

Gambar 2 Hubungan Antara Sains dan Teknologi serta
Pertaliannya dengan Tujuan-tujuan Pendidikan
(Trowbridge & Bybee, 1990:53; Yager, 1992b:4)
Keduanya berinteraksi terutama pada dua hal, yaitu penerapan metode inquiry dan penerapan metode pemecahan masalah, dan proses eksplanasi fenomena alam dan proses penyesaian masalah yang dihadapi manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan/alam. Hasil-hasil eksplanasi dapat memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru yang perlu dijawab kembali, dan solusi pemecahan masalah dapat memunculkan masalah-masalah baru yang perlu dipecahkan lagi, demikian seterusnya. Sementara itu, titik temu yang mempertalikan keduanya dengan tujuan-tujuan pendidikan adalah pada aplikasi sosial dari eksplanasi fenomena alam dan solusi masalah manusia beradaptasi dengan lingkungan. Jadi, pertalian antara sains, teknologi, dan tujuan-tujuan pendidikan adalah pada nilai-nilai dan manfaat atau penerapan sains dan teknologi bagi kehidupan manusia. Menurut Gregorio (1991:39), pembelajaran sains dengan Pendekatan STM dapat mempertemukan antara kebutuhan-kebutuhan individu dan masyarakat untuk kemajuan dan bertahan hidup.
Dengan demikian, ada beberapa aspek yang perlu mendapat penekanan dan dipresentasikan secara proporsional dan terintegrasi dalam pembelajaran sains di sekolah dengan Pendekatan STM, yaitu: kemampuan siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada alam dan menemukan jawabannya; kemampuan siswa mengidentifikasi isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi masyarakat dan berupaya memecahkannya; penguasaan pengetahuan ilmiah (sains) dan keterampilan (teknologi) dan berupaya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari; mempertimbangkan nilai-nilai dan konteks sosial budaya masyarakat; dan pengembangan sikap, nilai-nilai sosial budaya lokal, personal, dan global.
2.3. Visi, Tujuan, dan Karakteristik Program/Pendekatan STM
Ada dua visi dan tujuan Pendekatan STM dalam pendidikan sains seperti dikutip oleh Pedersen dari tulisan NSTA, yaitu: (1) STM melibatkan siswa dalam pengalaman dan isu-isu/masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka; dan (2) STM memberdayakan siswa dengan berbagai keterampilan sehingga mereka menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan lebih aktif merespons isu/masalah-masalah yang mempengaruhi kehidupan mereka (Pedersen, 1992:26). Program STM telah menjadi suatu gerakan dalam pendidikan sains di negara-negara yang telah maju, bertujuan mengintegrasikan sains dan teknologi dengan kehidupan masyarakat (Yager & Roy, 1993:7).
Sementara dalam Diwa Learning System (Gregorio, 1991:37) dinyatakan bahwa: (1) STM merupakan suatu perubahan penekanan dalam pengajaran sains di sekolah, dan bukan evolusi dalam pengajaran sains; (2) tujuannya adalah humanisasi pengajaran sains dengan menempatkannya dalam konteks sosial dan teknologi, dan bukan memandang sains sebagai tujuan yang terlepas dari atau di luar pengalaman sehari-hari; (3) STM merupakan suatu pendekatan pembelajaran untuk sains yang disesuaikan dengan kecakapan kelompok, dan bukan melemahkan atau menghambat perkembangan sains; (4) STM merupakan suatu program atau kurikulum sains, dan bukan sains itu sendiri; dan (5) STM merupakan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner, dan bukan suatu disiplin atau ruang lingkup pelajaran. Berhubungan dengan visi dan tujuan-tujuan Pendekatan STM, Gregorio (1991:40) mengungkapkannya dengan suatu kalimat yang diletakkan di antara dua tanda kutip, yakni "Give a man a fish, and he will survive for a day, but teach him how to culture fish, and he will survive a lifetime". Sedangkan Yager (1993:13) menyatakan bahwa salah satu tujuan pokok dari Pendekatan STM adalah mengaktifkan siswa dalam kegiatan pemecahan isu-isu/masalah-masalah yang telah diidentifikasi. Demikian halnya Gregorio (1991:39) menyatakan bahwa dalam pembelajaran sains dengan Pendekatan STM, siswa diikutsertakan dalam aktivitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Sementara Rosenthal (Lo, 1991:146) menyatakan bahwa isu-isu sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan dalam pembelajaran sains yang didasarkan pada aspek-aspek sosial dari sains. Sejalan dengan pernyataan Heath (Heath, 1992:55) bahwa isu-isu atau masalah-masalah dalam masyarakat dapat menjadi suatu basis pembelajaran dengan Pendekatan STM sekaligus sebagai "perekat" yang membolehkan integrasi belajar dan mengajar lintas disiplin ilmu dalam upaya membantu siswa dan warga negara untuk menyadari dan memahami adanya interaksi antara sains, teknologi, dan masyarakat.
Berhubungan dengan visi dan tujuan Pendekatan STM, Heath (1992:52-53) menyatakan bahwa secara operasional pembelajaran dengan Pendekatan STM memiliki karakteristik, yaitu: (1) diawali dengan isu-isu/masalah-masalah yang sedang beredar serta relevan dengan ruang lingkup isi/materi pelajaran dan perhatian, minat, atau kepentingan siswa; (2) mengikutsertakan siswa dalam pengembangan sikap dan keterampilan dalam pengambilan keputusan serta mendorong mereka untuk mempertimbangkan informasi tentang isu-isu sains dan teknologi; (3) mengitegrasikan belajar dan pembelajaran dari banyak ruang lingkup kurikulum; dan (4) memperkembangkan literasi sains, teknologi dan sosial (science, technology, and social literacy).
Pembelajaran sains dengan Pendekatan STM lebih menekankan pada isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang berhubungan dengan sains dan teknologi sebagai titik awal mempelajari isi kurikulum, konsep-konsep/prinsip-prinsip dan keterampilan proses dasar sains dan teknologi; dan/ atau menggunakan/menerapkan konsep-konsep/prinsip-prinsip dan keterampilan proses dasar sains dan teknologi dalam merespons isu-isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Di samping itu, pengembangan sikap, keterampilan pengambilan keputusan, kreativitas, nilai-nilai pribadi dan sosial, literasi sains dan teknologi, dan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari adalah juga merupakan elemen-elemen penting dalam pembelajaran sains dengan Pendekatan STM.
Menurut Yager (1993b:3; 1992b:3), Program STM yang baik memberikan suatu kesempatan yang tidak terpisahkan kepada siswa untuk mengajukan dan memperluas pertanyaan-pertanyaan, pengajuan/usulan jawaban, pencarian data tambahan, dan menguji ide-ide/gagasan lebih jauh dari ruang kelas ke komunitas lokal mereka. Artinya, proses belajar-mengajar sains di sekolah tidak hanya berlangsung di dalam ruang kelas, tetapi juga harus berlangsung dalam konteks kehidupan masyarakat dan lingkungan alam sekitar sekolah. Dengan kata lain, lingkungan alam sekitar, isu-isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh masayarakat, dan pengalaman-pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari harus menjadi bagian yang integral dari pembelajaran sains di sekolah dengan Program/Pendekatan STM.
2.4. Domain Program/Pendekatan STM
Menurut Yager & McCormack (Yager, 1996b:3-4; 1992b:5-6), ada enam domain utama STM untuk pengajaran dan penilaian, yaitu domain konsep, proses, kreativitas, sikap, aplikasi, dan keterkaitan. Keenam domain tersebut selanjutnya dinyatakan dalam Gambar 3.
 

Gambar 3 Enam Domain STM untuk Pengajaran dan Penilaian
(Yager, 1996b:3; 1992b:5)
Domain konsep meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, hukum (prinsip-prinsip), serta teori dan hipotesis yang digunakan oleh para saintis. Domain ini dapat juga disebut rana pengetahuan ilmiah/sains atau aspek minds-on/brains-on dalam belajar sains (Glynn & Duit, 1995; Butts & Hofman, 1993).
Domain proses meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan bagaimana para saintis berpikir dan bekerja, misalnya melakukan observasi dan eksplanasi; pengklasifikasian dan pengorganisasian data; pengukuran dan pembuatan grafik; pemahaman dan berkomunikasi; penyimpulan dan prediksi; perumusan dan pengujian hipotesis; identifikasi dan pengontrolan variabel; penginterpretasian data/informasi; pembuatan instrumen dan alat-alat sederhana; serta pemodelan. Domain ini dapat dibedakan antara keterampilan proses dasar (observasi, pengukuran, klasifikasi, prediksi, komunikasi, dan inferensi) dan keterampilan proses terintegrasi (perumusan/pengujian hipotesis, interpretasi data/informasi, dan pemodelan), atau aspek hands-on belajar sains (Rossman, 1993; Butts & Hofman, 1993; Hausfather, 1992; Pedersen, 1992; Alvarez, 1991; Glasson, 1989).
Domain kreativitas meliputi: visualisasi-produksi gambaran mental; pengkombinasian objek dan ide atau gagasan dalam cara baru; memberikan eksplanasi terhadap objek dan peristiwa-peristiwa yang dijumpai; mengajukan pertanyaan; menghasilkan alternatif atau menggunakan objek/ide yang luar biasa; menyelesaikan masalah dan hal-hal yang membingungkan atau menjadi teka-teki; merancang alat dan mesin; menghasilkan ide-ide yang luar biasa; serta menguji alat baru untuk eksplanasi yang dibuat.
Domain sikap meliputi: pengembangan sikap positif terhadap guru-guru dan pelajaran sains di sekolah, kepercayaan diri, motivasi, kepekaan, daya tanggap, rasa kasih sayang sesama manusia, ekspresi perasaan pribadi, membuat keputusan tentang nilai-nilai pribadi, serta membuat keputusan-keputusan tentang isu-isu lingkungan dan sosial. Sejalan dengan pernyataan Alvarez (1991:80) bahwa sikap adalah prilaku yang diadaptasi dan diterapkan pada situasi khusus, dapat berupa minat/perhatian, apresiasi, suka, tidak suka, opini, nilai-nilai, dan ide-ide dari seseorang.
Dalam literatur sains dibedakan antara sikap terhadap sains dan sikap ilmiah (Shibeci, 1984; Aiken & Aiken, 1969; Gardner, 1975). Sikap terhadap sains dihubungkan dengan reaksi emosional terhadap perhatian/minat siswa, kebingungan dan kesenangan pada sains, perasaan, dan nilai-nilai dalam kelas. Sedangkan sikap ilmiah mencakup karakter sifat ilmiah yang lainnya, seperti kejujuran, keterbukaan, dan keingintahuan (Alvarez, 1991:80).
Domain aplikasi dan keterkaitan meliputi: melihat/menunjukkan contoh konsep-konsep ilmiah dalam kehidupan sehari-hari; menerapkan konsep-konsep sains dan keterampilan pada masalah-masalah teknologi sehari-hari; memahami prinsip-prinsip ilmiah dan teknologi pada alat-alat teknologi yang ada dalam rumah tangga; menggunakan proses ilmiah dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari; memahami dan mengevaluasi laporan media massa tentang perkembangan ilmiah; membuat keputusan yang berhubungan dengan kesehatan pribadi, nutrisi, dan gaya hidup yang didasarkan pada pengetahuan ilmiah; dan mengintegrasikan sains dengan pelajaran lain.
3. Simpulan dan Saran
3.1. Simpulan
Pendekatan STM adalah belajar-mengajarkan sains dan teknologi dalam konteks pengalaman dan kehidupan manusia sehari-hari dengan bertitik tolak dari isu-isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari baik secara lokal, regional, nasional, maupun internasional yang mengandung komponen sains dan teknologi.
Sains, teknologi, dan masyarakat memiliki keterkaitan timbal balik, saling isi mengisi, saling tergantung, saling mempengaruhi dan mendukung dalam mempertemukan antara permintaan dan kebutuhan manusia serta memberikan pelayanan dan membuat kehidupan masyarakat lebih baik dan lebih mudah. Sains dan teknologi memiliki keterkaitan sangat erat dan hasil-hasilnya telah memasuki seluruh aspek kehidupan manusia (seperti sandang, pangan, alat-alat rumah tangga, kesehatan, media, transportasi, komunikasi, pendidikan, kesenian, hiburan, dan olah raga). Karena itu, Program/Pendekatan STM harus menjadi bagian integral dari sistem pendidikan agar siswa menjadi warga negara dan warga masyarakat yang melek dan sadar sains dan teknologi sejak dini.
Pendekatan STM adalah pembelajaran sains dengan penekanan pada konsep-konsep dan proses dasar sains dan teknologi; melibatkan siswa dalam aktivitas mengidentifikasi, menganalisa, dan menemukan solusi isu atau masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari; mendorong siswa untuk menerapkan konsep-konsep dan proses dasar sains dan teknologi dalam situasi kehidupan nyata; memberdayakan siswa sebagai warga negara yang dapat mengambil keputusan dan tindakan, melakukan perubahan, dan bertanggung jawab dalam dunia kehidupan nyata sekarang dan di masa yang akan datang; dan memberikan arah pencapaian literasi ilmiah dan teknologi untuk semua. Pendekatan STM merupakan upaya pembelajaran sains di sekolah yang menekankan pada konteks pembelajaran dan multi-dimensi atau domain hasil belajar siswa (dengan mengintegrasikan domain konsep, keterampilan proses, kreativitas, sikap, nilai-nilai, dan penerapan dalam pembelajaran dan penilaian) serta keterkaitan antar bidang studi/kurikulum (pendekatan terpadu atau muti-disipliner).
Penerapan Pendekatan STM dalam pembelajaran sains di sekolah dapat mendorong siswa berpartisipasi langsung dan proaktif dalam upaya pemecahan isu-isu/masalah yang dihadapi serta menyadari implikasi sosial dan manfaat sains dalam kehidupan nyata sehari-hari. Melalui Pendekatan STM para guru sains di sekolah dapat mendorong tumbuhnya nilai-nilai dan kesadaran akan tanggung jawab pribadi dan sosial pada peserta didik sebagai warga negara dan warga masyarakat. Pendekatan STM sebagai gerakan reformasi dalam pendidikan sains, diarahkan untuk literasi ilmiah (sains) dan teknologi untuk semua (scientific and technological literacy for all) sebagai megaproyek yang mendunia tahun 2000+. Melek sains dan teknologi merupakan salah satu syarat bagi seseorang untuk hidup dan bekerja, serta mampu membuat keputusan-keputusan yang tepat dan melakukan tindakan personal dan sosial yang bertanggung jawab.
Pembelajaran sains di sekolah dengan Pendekatan STM memiliki karakteristik utama: (1) isu-isu dan masalah-masalah dalam masyarakat dan kehidupan sehari-hari menjadi titik awal (basis) atau ‘kendaraan’ pertama dan utama untuk mempelajari dan menerapkan konsep-konsep/prinsip-prinsip dan proses sains dan teknologi dengan mempertimbangkan perhatian, minat, atau kepentingan siswa; (2) mengikutsertakan siswa dalam pengembangan sikap dan keterampilan dalam pengambilan keputusan serta mendorong mereka untuk mempertimbangkan informasi tentang isu-isu sains dan teknologi; (3) mengitegrasikan belajar dan pembelajaran dari banyak ruang lingkup kurikulum; dan (4) memperkembangkan literasi sains, teknologi dan sosial siswa (improved students science, technology, and social literacy).
3.2. Saran
Setiap warga negara hendaknya dapat dibekali dengan pendidikan sains dan teknologi agar dapat berpikir, berbicara, bersikap, dan bertindak tepat dan bertanggung jawab terhadap berbagai urusan (misalnya, pengambilan keputusan dan pemecahan isu atau masalah-masalah sosial dan pribadi) dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu strtaegi yang dapat ditempuh adalah dengan penerapan Program/Pendekatan STM dalam pembelajaran sains di sekolah.
Karena Program/Pendekatan STM belum dikenal secara meluas oleh guru-guru sains di sekolah dan juga belum menjadi suatu program nyata yang secara nasional memiliki kekuatan hukum dan melembaga, maka pendekatan tersebut perlu terus disosialisasikan dalam sistem pendidikan di Indonesia, agar upaya untuk membuat warga negara dan warga masyarakat melek sains dan teknologi sejak dini dapat terwujud. Selain itu, hasil-hasil sains dan teknologi serta dampak-dampak penyertanya sudah menjadi bagian integral dari kehidupan kita sehari-hari. Strategi sosialisasinya antara lain adalah melalui berbagai tulisan, forum diskusi/seminar dan penataran, penelitian-penelitian, dan perlu diakomodir dalam kurikulum sebagai salah satu pendekatan pembelajaran sains di sekolah.
Meskipun penerapan Pendekatan STM dalam pembelajaran sains di sekolah telah menunjukkan keunggulan komparatif untuk berbagai domain dan evaluasi hasil belajar siswa (seperti, penguasaan konsep, keterampilan proses, kreativitas, sikap, nilai-nilai, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan kesadaran karier), namun Pendekatan STM bukanlah suatu ‘obat mujarab’ yang dapat mengatasi berbagai persoalan dalam pembelajaran sains di sekolah, dan tentu saja tidak semua topik dalam kurikulum sains dapat diajarkan dengan Pendekatan STM. Karena itu, perlu dalam pelaksanaannya dipilih topik-topik yang sesuai dan relevan dengan isu/masalah yang menjadi titik tolak/fokus pembelajaran, dan perlu dipadukan dengan pendekatan, strategi, atau metode pembelajaran yang lainnya (seperti, ketrampilan proses, pemecahan masalah, belajar kelompok, tanya-jawab, pemberian tugas, karya wisata, pendekatan lingkungan dan inkuari, dan eksperimen).
Program/Pendekatan STM disarankan untuk dijadikan salah satu program (mata pelajaran atau mata kuliah) atau isi kurikulum dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan kadar dan persentase tertentu secara proporsional.
Dalam pembelajaran sains dengan Pendekatan STM, para guru STM seyogyanya tidak hanya mengajarkan pengetahuan sains pada siswa, tetapi juga mendorong siswa mengembangkan keterampilan proses, sikap, nilai-nilai sains dan teknologi, dan menyadari keterkaitan antara sains dan bidang studi lain.
Dalam penerapan Pendekatan STM di sekolah, para siswa perlu diberi kesempatan yang tidak terpisahkan untuk mengajukan/memperluas pertanyaan-pertanyaan, usulan jawaban, pencarian data tambahan, dan menguji ide-ide/ gagasan lebih jauh dari ruang kelas ke komunitas lokal mereka, sehingga proses belajar-mengajar sains tidak hanya berlangsung di dalam ruang kelas, tetapi juga berlangsung dalam konteks kehidupan masyarakat dan lingkungan alam sekitar sekolah. Dengan kata lain, lingkungan sekitar, isu/masalah yang sedang dihadapi oleh masayarakat, dan pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari perlu menjadi bagian yang integral dari pembelajaran sains dengan Pendekatan STM.

Pustaka Acuan
Aikenhead, G., (1992), The Integration of STS into Science Education. Theory Into Practice, 31(1): 27-35.
Alvarez, A.A., (1991), "Student Attitudes To Science: Gender, Grade Level and Achievement Differences". In ICASE (1991), Proceedings of The Sixth ICASE Asian Symposium 4-10 December 1989, Universiti Brunei Darussalam, Bandar Seri Begawan, Thema: Science, Mathematics & Technology For All: Towards A Better Society. Brunei Darussalam: BASE.
Anonim, (1990), Peraturan Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional. Jakatrta: Armas Duta Jaya
BASE & ICASE, (1991), Science, Mathematics & Technology For All: Towards A Better Society. Bandar Seri Begawan: University Brunei Darussalam, Proceedingss of The Sixth ICASE Asian Symposium 4-10 December 1989.
Butt, D.P., & Hofman, H., (1993), "Hands-on, Brains-on: For Children, the Words Following the Activity Complete the Concept". Science and Children, February 1993.
Cross, R.T., (1993), "The Risk of Risks: A Challenge and a Dilemma for Science and Technological Education". Research in Science & Technological Education, 11(2), 171-183.
Depdikbud, (1994), Kurikulum Pendidikan Dasar: GBPP IPA-SD. Jakarta: Depdikbud.
Dimyati, M., (1988), Landasan Kependidikan: Suatu Pengantar Pemikiran Keilmuan tentang Kegiatan Pendidikan. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.
Eijkelhof,H. & Lijnse,P, (1992), "Experiences with Research and Development to Improve STS-Education on Radioactivity and Ionizing Radiation". In Yager, R. E. (Ed.) (1992a). The Status of Science-Technology-Society Reform Efforts around the World. ICASE Yearbook.
Gill, W., (1991), "The Science Frame work "Science For All": Rhetoric vs Reality". In ICASE (1991), Proceedings of The Sixth ICASE Asian Symposium 4-10 December 1989, Universiti Brunei Darussalam, Bandar Seri Begawan, Thema: Science, Mathematics & Technology For All: Towards A Better Society. Brunei Darussalam: BASE.
Glasson, G.E., (1989), "The Effect of Hands-On and Teachear Demonstration Laboratory Methods on Science Achievement in Relation to Reasoning Ability and Prior Knowledge". Jornal of Research in Science Teaching, 26(2), 121-131.
Glynn, S.M. & Duit, R., (1995), "Learning Science Meaningfully: Constructing Conceptual Models". In Glynn, S.M., & Duit, R. (Eds.) (1995), Learning Scince in the Schools: Research Reforming Practice. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Gregorio, L.C., (1991), "Science Technology and Society: Implications For Better Decision Making". In ICASE (1991), Proceedings of The Sixth ICASE Asian Symposium 4-10 December 1989, Universiti Brunei Darussalam, Bandar Seri Begawan, Thema: Science, Mathematics & Technology For All: Towards A Better Society. Brunei Darussalam: BASE.
Hausfather, S.J., (1992), "It’s Time for a Conceptual Change: A flexible Approach Leads to Understanding". Science and Children, November/ Desember 1992.
Heath, P. A., (1992), "Organizing for STS Teaching and Learning: The Doing of STS". Theory Into Practice, 31(1), 52-58.
Hidayat, Eddy M., (1996a), Science-Technology-Society: Pendidikan IPA Untuk Tahun 2000? Jurnal Pendidikan IPA No.5
----------, (1996b), "Sains-Teknologi-Masyarakat". Makalah yang Disampaikan pada Seminar Literasi Sains dan Teknologi Balitbang Departemen P & K Jakarta, Agustus 1996.
----------, (1997), Pendidikan Sains untuk Kelompok Multi Etnis. Mimbar Pendidikan: Jurnal Pendidikan, No. 1 Tahun XVI, 10-15.
Holbrook, J. B., (1994), "Scientific and Technological Literacy for All - The Role of Education". Science Education International, 5(3), 10-16.
----------, (1992), "Teaching Science the STS Way". In Yager, R. E. (Ed.) (1992a), The Status of Science-Technology-Society Reform Efforts around the World. ICASE Yearbook.
----------, (1991), "Science For All". In ICASE (1991), Proceedings of The Sixth ICASE Asian Symposium 4-10 December 1989, Universiti Brunei Darussalam, Bandar Seri Begawan, Thema: Science, Mathematics & Technology For All: Towards A Better Society. Brunei Darussalam: BASE.
Holman, J., (1986), Science & Technology in Society: General Guide for Teachers. Cambridge: The Association for Science Education.
Hungerford, H. R., Volk, T. L., & Ramsey, J. M., (1990), Science-Technology-Society: Investigating and Evaluating STS Issues and Solution. Illinois: STIPES Publishing Co.
Hunt, A. (Ed.), (1992), SATIS 16-19: Scince & Technology in Society Cambridge: ASE.
Hyllegard, R., Mood, D. P., & Morrow, Jr., J. R., (1996), Interpreting Reseacrh in Sport and Exersice Science. New York: Mosby-Year Book, Inc.
ICASE, (1991), Proceedings of The Sixth ICASE Asian Symposium 4-10 December 1989, Universiti Brunei Darussalam, Bandar Seri Begawan, Thema: Science, Mathematics & Technology For All: Towards A Better Society. Brunei Darussalam: BASE
Kranzberg, M., (1991), "Science-Technology-Society: It’s as Simple as XYZ". Theory into Practise, 30(4), 234-241.
Lo, A., (1991), "Some Examples in Science-Technology-Sciety Teaching Ideas". In ICASE (1991), Proceedings of The Sixth ICASE Asian Symposium 4-10 December 1989, Universiti Brunei Darussalam, Bandar Seri Begawan, Thema: Science, Mathematics & Technology For All: Towards A Better Society. Brunei Darussalam: BASE.
Maton, A., (1993), "Great Strides with STS in Britain". In Yager, R.E. (Ed) (1993), What Research Says to the Science Teachear, Vol. 7. The Science, Technology, Society Movement. Wasington, DC: National Science Teachers Association.
Merryfield, M., (1991), "Science Technology Society and Global Perspectives". Journal of Educations, xxx (4).
O’Toole, M., (1993), "Science, Technology and Communication: Utilization depends on access". In Science Education International, 4(4), 21-24.
Pedersen, J. E., (1993), "STS Issues: A Perspective". In Yager, R.E. (Ed.), (1993b), What Reseacrh Says to the Science Teachers. The Science, Technology, Society Movement. Wasington, DC: National Science Teachers Association.
----------, (1992), "The Jurisprudential Model of Study for STS Issues. In Yager, R. E. (Ed.), (1992a), The Status of Science-Technology-Society Reform Efforts around the World. ICASE Yearbook.
Solomon, J., (1993), Developing Science and Technology Education: Teaching Science, Technology and Society. Buckingham: Open University Press.
----------, (1992), Science & Technology in Society (SATIS 16-19): What is Thecnology? London: The Association for Science Education.
Soprovich, W., (1993), "STS-Environment-Problem Solving". Science Education International, 4(1), 27-30.
Suparno, Paul, (1997), Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Sutrasno, T. & Bishry, R. M., (1994), "Hubungan Perkembangan Teknologi dan Kurikulum Yang Berlaku". Makalah yang disajikan pada seminar/ lokakarya science, technology, and society tanggal 11-21 Januari 1994 di PPPG IPA Bandung.
Trowbridge, L.W. & Bybee, R.W., (1990), Becoming A Secondary School Science Teacher. Columbus: Merrill Publishing Co., A Bell & Howell Information Co.
UNESCO, (1993), International Forum on Scientific and Technological Literacy for All: Project 2000+. Paris, 5-10 July 1993 (Final Report).
Waks, L. J., (1992), "The Responsibility Spriral: A Curriculum Framework for STS Education". Theory Into Practice, 31(1), 13-19.
Yager, R. E., (1996a), "Science/Technology/Society Providing Useful and Appropriate Science For All". A Paper Presented at the Seminar on Science-Technolog-Society, Organizer by Indonesian Association for Science Education and the Graduate School of IKIP Bandung, June 10, 1996.
----------, (1996b), Science/Technology/Society Providing Useful and Appropriate Science For All. Khazanah Pengajaran IPA: Majalah Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, 1(2), 1-9.
----------, (Ed.), (1996c), Science/Technology/Society As Reform In Science Education. USA: State University of New York Press, Albany.
----------, (1995), "Constructivism and the Learning of Science". In Glynn, S.M., & Duit, R. (Eds.), (1995), Learning Scince in the Schools: Research Reforming Practice. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
----------, (1993a), "Constructivism and Science Education Reform". Science Education International, 4(1), 13-14.
----------, (Ed.), (1993b), What Research Says to the Science Teacher, Vol. 7.The Science, Technology, Society Movement. USA, Wasington, DC: National Science Teachers Association.
----------, (1993c), "Science-Technology-Society As Reform". School Science and Mathematics, 93(3), 145-151.
----------, (Ed.), (1992a), The Status of Science-Technology-Society Reform Efforts around the World. Virginia: ICASE Yearbook.
----------, (1992b), "Science-Technology-Society as Reform. In Yager, R. E. (Ed.), (1992a), The Status of Science-Technology-Society Reform Efforts around the World. Virginia: ICASE Yearbook.
Please do not use illegal software...----------, (1992c), "The Constructivist Learning Model: A Must for STS Classrooms". In Yager, R. E. (Ed.), (1992a), The Status of Science-Technology-Society Reform Efforts around the World. ICASE Yearbook.
----------, (1991), "The Constructivist Learning Model: Towards Real Reform in Science Education". The Science Teacher, 1991, 52-57.
Yager, R.E. & Roy, R., (1993). "STS: Most Perasive and Most Radical of Reform Approaches to "Science" Education". In Yager, R.E. (Ed.), (1993b), What Research Says to the Science Teacher, Vol. 7. The Science, Technology, Society Movement. USA, Wasington, DC: National Science Teachers Association
Zoller, U. & Ben-Chaim, D., (1994). "Views of Prospective Teachers Versus Practising Teachers about Science, Technology and Society Issues". Research in Science & Technological Education, 12(1), 77-89.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar